Lilypie 6th to 18th Ticker

Friday, March 9, 2007

Parent Visit

Last Tuesday, the school invited kindy's parents to have a morning tea and a visit to kindy's classroom. There, we could see how the learning activities ran in the classroom. When we visited the classroom in the morning, the students were having their literacy program. They sat on the floor while Mrs Messiniss read them a story. Then the teacher wrote 4 words from the story, which were: the castle, a forest, the church, and the sea. The teacher told them how to read the words (they were currently studying the "c" sound). After that, the students were asked to do their worksheets, to draw the picture as written in there (those 4 words). There were 16 students in this class, divided into 4 groups. The leader of the group took the worksheet from Mrs. Messinis and passed it on to his/her group's members. And they sat quietly and began their work in the table.
I was amazed by their obedient.
After the works done, the teacher asked some students to show their works in front of the class. They read the worlds aloud and the other students gave her/his a big clap.

Mamapong.

Tuesday, March 6, 2007

Belajar Mengaji


Kami membawa enam jilid buku Iqra untuk Nindi belajar mengaji. Dulu, kira-kira dua bulan yang lalu, Nindi semangat sekali belajar Iqra, sampai-sampai dia sanggup membaca 5 halaman sehari. Nindi sudah bisa menghafal huruf hijaiyah sampai ro and za. Namun setelah itu dia melempem lagi, sama sekali nggak mau melanjutkan belajar mengaji.

Dua minggu yang lalu, kami diajak Mbak Nurul (tetangga sebelah) untuk ikut belajar Iqra di Tempe Mosque, nggak begitu jauh dari rumah kami, sekitar 15 menit naik bis. Di sana, setiap Sabtu, ada pelajaran mengaji untuk anak-anak, mulai dari jam 11 sampai waktu dzuhur. Kebanyakan memang anak-anak dari Indonesia yang ada di Sydney. Ustadzahnya juga ibu-ibu Indonesia juga.

Ternyata tidak gampang mengajak anak-anak pergi ke masjid. Nindi malas sekali berangkat ke masjid. Dia takut kalau nanti diajar teacher yang berbahasa Inggris. Dia juga takut kalau nanti dia tidak bisa dan teachernya galak. Ternyata kemalasan dan kekhawatiran itu nggak cuma terjadi pada Nindi doang. Amira (5) dan Fateen (5), teman dia sekelas di Kindy juga merasa khawatir, dan karena itu jadi ogah ke masjid. Tapi kami, orangtuanya tetap memaksa mereka ke masjid, dengan iming-iming pergi ke pantai setelah itu.

Saya sendiri bisa merasakan, suasana di masjid kurang begitu menyenangkan untuk anak-anak belajar. Suasananya sangat tegang dan anak-anak menunggu dengan gelisah. Karena lama sekali menunggu (kami tidak tahu pasti jam berapa pelajaran ngaji dimulai, karena memang tidak pasti), anak-anak jadi capek. Giliran mereka disuruh membaca Iqra, mereka kelihatan malas banget, meskipun sebenarnya mereka sudah bisa.

Saya sangat menyayangkan kondisi seperti ini. Seharusnya kondisi belajar mengaji harus dibuat supaya anak-anak merasa senang dulu, merasa nyaman, kemudian baru mereka bisa belajar. Seperti yang terjadi di sekolah Kindy, anak-anak merasa senang belajar membaca. Saya sendiri dulu pernah mengajar mengaji Iqra untuk anak-anak di TPA di Jogja. Kami memulai kelas tepat waktu (ada bel seperti di sekolah), dan kami memulainya dengan membaca doa dan menyanyi lagu2 islami. Setelah itu, baru anak-anak diajari Iqra secara privat, karena kemajuan mereka berbeda untuk setiap anak. Setelah itu, kami menghafal surat pendek atau doa secara klasikal dan ada juga pembacaan cerita anak.

Saya tidak tahu kondisi pelajaran Iqra di sini, karena baru sekali ini ke masjid Tempe, itu pun tidak sampai pelajaran selesai, karena anak-anak telanjur sudah capek. Atau mungkin pelajaran mengaji memang harus dibuat dengan disiplin tinggi dan sedikit paksaan? Seperti orang-orang tua zaman kita dulu, seperti ayah saya memaksa saya mengaji. Memang itu bukan pengalaman yang menyenangkan, tapi toh hasilnya saya jadi bisa mengaji.

Akhirnya, karena Nindi tidak suka dengan belajar di masjid, saya ajari (lagi) dia membaca Iqra, mulai dari a-ba-ta. Saya batasi hanya membaca satu halaman per hari, agar dia tidak terbebani, dan agar dia tidak cepat bosan. Saya berharap, Nindi terus belajar sedikit-sedikit sampai selesai satu jilid. Kami membelikan stiker hologram berbentuk bintang untuk ditempel di halaman Iqra setiap Nindi selesai membaca. Ini juga membuat dia semangat karena ada reward setiap kali dia selesai belajar. Taktik yang sama digunakan di sekolah dia, entah dengan stiker atau stempel (I'll write about it later).

Sayangnya, Nindi mudah sekali mengambek kalau dia melakukan kesalahan. Ketika dia salah melafalkan kha dengan ja, Nindi ngambek mengaji selama berhari-hari. Kami membujuknya agar dia mulai lagi, bahkan mengancam akan mengirim ke masjid kalau dia tidak mau belajar mengaji di rumah (Wah, ngeri juga ya kalau masjid malah jadi ancaman buat dia). Sebenarnya nggak mengancam sih, cuma menyuruh Nindi memilih belajar di rumah dengan Mama atau belajar di masjid dengan ustadzah.

Memang, mengajari mengaji gampang-gampang susah. Nggak cuman anaknya yang harus disiplin, tapi orang tua nya juga.

Mamapong.

Wednesday, February 28, 2007

Belajar Membaca

Nindi tertarik belajar membaca (bahasa Indonesia) sekitar November tahun lalu. Tadinya, kami tidak secara khusus melatihnya membaca. Namun ketika Nindi menunjukkan keinginannya untuk belajar membaca, kami mulai melatihnya selama liburan summer. Kegiatan ini bagus juga untuk mengisi liburan musim panas yang super panjang itu (sekitar satu setengah bulan). Kami pikir ada baiknya juga Nindi diajari membaca dalam bahasa Indonesia sebelum dia nanti belajar membaca dalam bahasa Inggris secara intensive di sekolah. Kami takut nanti dia bingung membedakan pelafalan huruf dan kata dalam dua bahasa yang berbeda.
Kami mengawali pelajaran membaca ini dengan mengenalkan suku kata yang Nindi sudah familiar, antara lain namanya (dia lebih suka dipanggi Didi), kemudian MA MA, kemudian PA PA. Kami menggunakan sketchboard kecil yang langsung bisa dihapus untuk belajar membaca, sekaligus menulis.
Dari suku kata DI, kami beranjak ke kata-kata lain yang berawalan DI, misalnya nama teman-temannya: DI NA, DI LA (tantenya), DI NO (dinosaurus maksudnya), dan seterusnya. Begitu juga dengan suku kata MA dan PA. Nindi cepat sekali belajar membaca karena dia sudah hafal semua alfabet dengan pelafalan bahasa Indonesia.
Sebisa mungkin, kami menggunakan kata-kata pendek yang bermakna, seperti CU CI, MU KA, KU E, BU SA, BA RU, BA JU, dan lain-lain. Dari kata-kata dengan dua suku kata, kami lanjutkan dengan kata-kata dengan tiga suku kata seperti: BO NE KA, KE RE TA, CE LA NA, dan lain-lain. Sampai tahap ini, kami belum mengenalkan huruf mati di akhir kata, semata-mata untuk mencegah dia frustasi (Nindi cepat sekali ngambek). Untuk penulisan kata-kata, kami menuliskan per suku kata, tidak langsung menyambungnya tanpa jeda (rapat). Ini juga untuk mencegah dia frustasi.
Untuk membuat pelajaran membaca ini tidak membosankan, kami menggunakan permainan, yang tidak sengaja saya temukan (ehem, bangga nih). Begini peraturannya: Saya membagi sketchboard menjadi dua (dengan menggambar garis vertikal). Sisi sebelah kiri untuk menulis suatu kata yang harus ditebak Nindi, sisi sebelah kanan untuk gambar tebakan sesuai kata yang saya tulis. Pertama, saya menulis katanya, tentu saja yang kira-kira Nindi sudah bisa membacanya, dan tidak terlalu sulit, misalnya KU DA. Saya serahkan sketchboard itu ke Nindi, dan dia akan berpikir sebentar, kemudian tersenyum (kalau sudah tahu jawabnya), dan segera menggambar kuda di sisi sebelah kanan. Setelah selesai menggambar, dia serahkan kembali sketchboardnya, dan saya akan bilang, "Very good, Didi. Well done!" Biasanya permainan ini bisa diulang sampai 10 kata sampai akhirnya Nindi capek.
Tapi, kalau kata-kata yang ingin dipelajari terlalu sulit, kami perlu bermain bertiga. Saya yang memberi tebakan, Nindi dan ayahnya yang menjawab (menggambar). Kadang, permainan ini juga dibalik, Nindi dulu yang menggambar, kemudian saya yang menulis (eh, sama saja ya?).
Lama-lama, Nindi sudah bisa menebak/membaca kalimat secara utuh (meskipun kadang frustasi kalau kalimatnya terlalu panjang). Saya tetap belum menggunakan huruf mati dalam kalimat panjang itu, misalnya: Di di su ka ro ti. Ma ma cu ci ce la na. Pa pa be li ba ju ba ru di to ko.
Seminggu terakhir sebelum Nindi mulai sekolah di Kindy, kami membuat proyek Diari atau catatan harian. Nindi menulis satu kalimat yang menggambarkan kegiatan dia yang paling menarik di pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari.
Ini adalah contoh buku harian dia tanggal 30 Januari 2007:
Pagi hari: Di di ma kan ro ti co klat.
Siang hari: Di di po tong ram but di sa lon.
Sore hari: Di di ba ca bu ku ce ri ta.
Malam hari: Di di si kat gi gi se be lum ti dur.

Saya sudah kenalkan huruf matinya, hanya saja saya tidak memaksa dia untuk menebak.
Ngeri saya kalau dia ngambek.

Mamapong.

Starting School



Nindi was starting school this year. She goes to Marrickville West Public School. We chose this school for her because there would be three other Indonesian students that starting school in the same year. It would be better for her to have already known friends. Starting school was scary, wasn't it? Especially when it is in a new country when everybody speaks strange language (and English language with strange accent).
Fortunately, this school had a good program for its new students. They had six weeks Preparation To Start School program. One a week at tuesday, children were gathered in the classroom, having activities just like what school might be. The parents are invited in other room to be given some informations about the school.
Here in Australia, children start school at Kindergarten for 1 year, and then they can go to Year 1 until Year 6. Kindergarten, or kindy for short, is usually attached to Primary School (or Sekolah Dasar in Indonesia). The children are eligible to join kindy if they are five years old or older.
Public school is free for citizen and permanent resident. Nindi is exempt from the payment because her father is studying here under ausaid program (thank God for that). But we still have to pay 'a small fee', what they called School Contribution (remember BP3 in Indonesia), for $40 a year.

Mamapong.